Berjuta Hidayah
Bel masuk sekolah berbunyi. Suara siswa-siswi masih ramai terdengar, memanfaatkan sisa-sisa waktu sebelum guru pelajaran pertama masuk kelas. Tahun ajaran baru 2006/2007 baru berjalan 1 bulan. Sinta sangat menikmati sekolahnya ini, karena bisa diterima di SMA Negeri 1 Bandung yang merupakan sekolah terfavorit di Bandung ini adalah impiannya sejak dulu. Hubungannya dengan murid-murid yang lain sangat baik, guru-guru pun menyukainya. Sinta memang anak yang ramah dan mudah bergaul dengan orang lain. Tidak heran kalau ia cepat mendapatkan teman. Baru masuk SMA saja ia sudah mempunyai dua orang sahabat yaitu Anisa dan Putri.
Putri, sahabat Sinta yang satu ini selalu berpenampilan cuek, cerewet, ceplas-ceplos, dan humoris. Sifat humorisnya itulah yang selalu bisa membuat Sinta dan Anisa terhibur dan sampai tertawa terbahak-bahak karena tingkahnya.
Berbeda dengan Putri, Anisa senantiasa berpakaian rapi dengan jilbabnya yang terulur indah. Penampilan Anisalah yang membuat Sinta menjadi terkesan padanya, karena menurutnya zaman sekarang ini jarang ada remaja yang mau berpakaian seperti Anisa setiap harinya, termasuk ia sendiri. Kalaupun ada paling tidak banyak.Hal itulah yang membuat Sinta ingin mengenal Anisa lebih dekat. Selain itu, Anisa juga anak yang berprestasi, sopan dan baik hati.
@@@
Sewaktu jam istirahat, seperti biasa kantin sekolah sudah dipenuhi dengan siswa-siswi yang ingi membeli makanan atau minuman, termasuk ketiga orang sahabat itu. Sambil menunggu bakso yang mereka pesan , Putri membuka pembicaraan.
“Eh, kita kan kurang lebih sudah sebulan sekolah disini. Tapi belum ada ikut kegiatan ekstrakurikuler satupun.”
“Iya juga sih, padahal kalau kita ikut salah satu ekskul aja itukan bias menambah nilai rapor kita nantinya. Ehm…, jadi ikut ekskul apaan dong?” Tanya Sinta bingung.
“Gimana kalau kita ikut ROHIS?” Jawab Anisa.
“ROHIS, apaan tuh?” Tanya Sinta dan Putri bersamaan.
“ROHIS itu singkatan dari Rohaniawan Islam, salah satu kegiatan ekstrakurikuler yang biasa ada di sekolah-sekolah. Nanti kita juga bakal tahu lebih banyak tentang itu kok. Makanya kita ikutan ya?” Pinta Anisa.
“Gimana ya…?” Jawab Sinta masih bingung.
Karena Sinta tidak enak hati menolak ajakan sahabatnya itu, maka ia mengiyakannya. Walaupun sebenarnya ia tidak begitu tertarik untuk ikut ROHIS. Dan Putri pun juga mau ikut ROHIS karena ia itu ikut aja apa kata kedua sahabatnya.
@@@
Dengan ikut ROHIS, kini Sinta menjadi lebih mengenali Islam. Memang Sinta dilahirkan dari orang tua yang keduanya beragama Islam, tapi sejak kecil ia tidak pernah diajarkan tentang Islam secara mendalam oleh kedua orang tuanya. Selama ini Sinta mendapatkan ajaran Islam sebatas pelajaran agama dari sekolah saja, tidak lebih dari itu.
Sinta yang semula ikut ROHIS hanya karena ajakan dari Anisa, sekarang ia sangat aktif sekali di ROHIS. Ia selalau hadir dalam pengajian-pengajian atau majelis taklim yang diadakan oleh ROHIS.
Sejak mengikuti kegitan-kegiatan yang diadakan ROHIS, Sinta mengalami banyak perubahan. Perlahan tapi pasti. Ia memang seorang muslimah, tapi kini ia mendapati Islam, agamanya sendiri seperti benda baru yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Islam seperti sebuah maha karya yang indah, suatu konsep yang agung, yang menyimpan jutaan detil yang pelik dan indah, tapi juga mudah dimengerti.
Islam yang indah itu sebenrnya selama ini ada di dekatnya, tapi seolah tertutup rapat oleh ketidakpeduliannya itu. Kini selubung kelam itu mulai terbuka sedikit demi sedikit. Sinta mulai melihat kemilau Islam menyaruak dari selubung tadi. Rasa hausnya pun bertambah. Ia semakin ingin tahu lebih jauh tentang Islam. Ia ingin menyibak lebih banyak lagi tabir yang menghalanginya selama ini, dan ia menjadi begitu bersemangat untuk mengamalkan Islam dengan sungguh-sungguh.
Di ROHIS Sinta juga mengenal banyak teman baru. Ada Anna, Icha, Evi, Yanti, Pipit, dan lainnya.Di ikhwannya, begitu biasanya anak laki-laki disebut, ada Rizal, Danang, Marioga, Lukman, Hafidz, dan beberapa lainnya. Sementara itu kakak-kakak kelasnya yang akhwat, sebutan untuk saudara-saudara seiman yang perempuan, juga tidak sedikit yang dikenal Sinta.Yang paling menonjol di antara mereka yaitu Mbak Nia, Mbak Nurul, Mbak Vira, dan Mbak Fitri. Keempatnya siswi kelas XII serta Mbak Lia, siswi kelas XI adalah ketu keputrian pada periode itu.
@@@
Hari ini, Sinta, Anisa, Putri, Anna, Icha, Evi, Yanti, dan Pipit akan mengikuti liqo’ yang akan diisi oleh Mbak Fitri. Mereka telah menjadi satu kelompok liqo’ yang akan rutin diadakan sekali tiap minggunya. Mbak Fitri pun akan menjadi mhurobi tetap bagi mereka.
Sinta sangat senang sekali bisa mengikuti liqo’ tersebut, karena ini berbeda dengan kegiatan-kegiatan ROHIS lainnya. Di dalam liqo’ ini ada suatu kelompok kecil yang terdiri dari 5 – 8 akhwat dan seorang mhurobi atau mentoring yang pastinya akhwat juga. Jadi Sinta dan yang lainnya bisa lebih terbuka dalam belajar islam, karena sesama akhwat.
Dalam pertemuan yang pertama itu, Mbak Fitri memberi materi tentang Ma’rifatullah, “Mengenal Allah”. Kini Sinta menyadari bahwa betapa selama ini ia tidak tahu apa-apa dan juga tidak mau tahu tentang siapa sesungguhnya Allah yang telah menciptakannya. Betapa angkuhnya ia selama ini mengabaikan Allah, padahal Ia tidak pernah mengabaikan makhluk-Nya.
Sinta menjadi merasa kerdil. Hatinya merasa miris dengan tingkah lakunya yang tidak ber-Tuhan selama ini. Kalaupun ia sholat, itu hanya sesekali. Sementara Allah sangat jarang ia hadirkan dalam kehidupannya walau hanya sesaat. Untung ia tidak keburu meninggal dalam keadaan seperti itu.
@@@
Baru beberapa kali pertemuan liqo’, telah nbanyak yang berubah dalam diri Sinta. Kini ia selalu melaksanakan sholat 5 waktu setiap harinya, rajin membaca Al-Qur’an dan buku-buku bacaan Islam. Selain itu, ia juga sering melaksanakan sholat malam dan puasa sunnah senin-kamis. Yang pastinya saat ini hidup Sinta tertata lebih baik dari pada sebelumnya. Meskipun begitu, Sinta tidak berhenti sampai di sini saja. Ia tetap terus menggali dan memperdalam ilmunya tentang Islam, karena menurutnya ini adalah awal perjalanannya untuk menuju Islam dan disana masih ada segudang hal tentang Islam yang belum ia ketahui.
Hari Sabtu sepulang sekolah, seperti biasa Sinta dan teman-temannya tetap berada di musholla sekolah. Mereka sedang menunggu kedatangan Mbak Fitri. Tak lama kemudian Mbak Fitri datang. Ia tampak cantik sekali dengan jilbab biru muda yang ia kenakan siang itu.
“Assalamu’alaikum Wr. Wb.”, Mbak Fitri membuka pertemuan liqo’ hari itu.
“Waalaikumsalam Wr. Wb.”, Jawab mereka serempak.
“Alhamdulillah , hari ini kita semua masih diberi kesehatan oleh Allah SWT sehingga bisa berkumpul bersama dalam liqo’ ini. Pertemuan kali ini, Mbak akan menyampaikan materi tentang “Jilbab”.
“Apa pendapat kalian mengenai jilbab?”, Tanya Mbak Fitri.
“Katanya sih jilbab itu wajib Mbak”, Putri mencoba menjawab pertanyaan itu.
“Sekarang coba kalian buka Al-Qur’an, Surat Al-Adzhab ayat 59”, Pinta Mbak Fitri.
Icha pun membuka Al-Qur’an terjemahan yang ada di tangannya. Ia lantas membacanya.
“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, “hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal. Karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
“Jadi, jilbab itu wajib, atau “katanya” wajib?” Mbak Fitri kembali bertanya.
Kedelapan siswi kelas X itu terdiam. Selama ini mereka, yaitu Sinta, Putri, dan Evi mengenakan kerudung pada saat ke acara-acara pengajian atau majelis taklim saja. Tinggal mereka bertiga yang belum mengenakan jilbab, sedangkan yang lainnya rata-rata telah berjilbab sejak SMP bahkan ada yang telah mengenakannya sejak kecil, yaitu Anisa. Oleh karena itu, mereka bertiga mendengarkan penjelasan Mbak Fitri dengan seksama.
“Sekarang coba lihat ayat yang lainnya!”, Mbak Fitri kembali menginstruksikan untuk membuka ayat Al-Qur’an.
Kali in Al-Qur’an Surat An-Nur ayat 31. Mereka semua menyimak terjemahan ayat Al-Qur’an yang dibacakan oleh Mbak Fitri. Kemudian Mbak Fitri memberi penjelasan tentang ayat tersebut.
“Tapi Mbak, bagaimana kalau kita memakai jilbab tapi tingkah laku kita masih buruk? Bukankah hal itu justru akan memperburuk citra Islam?” Tanya Sinta.
“Lalu kapan kita mau berhenti dari perbuatan-perbuatan buruk? Bukankah sebagai seorang muslim kita harus membuang semua perbuatan buruk tersebut dan menggantinya dengan akhlak baik? Lagipula, tidakkah dengan mengenakan jilbab, kita akan berfikir seribu kali untuk melakukan perbuatan yang buruk? Bukankah jilbab bisa menjadi perisai yang baik bagi kita, mencegah kita atas perbuatan maksiat?
Itu semua tentu akan terjadi kalau seorang muslimah mengenkan jilbabnya memang dengan niat yang ikhlas karena Allah semata”, Jawab Mbak Fitri panjang lebar.
Kedelapan siswi itu kembali terdiam. Sinta melirik Evi yang sejak tadi terdiam. Dia tahu bahwa Evi tidak ada keraguan berkenaan dengan wajibnya jilbab. Keluarganya tentu mendukung sepenuhnya kalau ia ingin berjilbab.
“Bagaimana Evi tidak ada pertanyaan?” Mbak Fitri bertanya perlahan.
“Mbak, Insya Allah saya akan mengenakan jilbab mulai Sabtu besok”, Jawab Evi.
“Subhanallah”, Mbak Fitri tersenyum gembira.
“Evi, sudah benar-benar siap?”, Tanyanya lagi.
“Insya Allah saya siap Mbak. Saya sudah cukup lama menyimpan keinginan untuk berjilbab”, Evi menjawab mantap. Teman-temannya yang lain tertegun. Mereka kagum dengan pendirian Evi dan diam-diam Sinta dan Putri mempunyai keinginan yang sama dengannya.
@@@
Hari Senin kemarin, Evi menepati janjinya. Kini ia telah mengenakan jilbab.
Siswi terpandai di kelas X-4, bahkan di seluruh kelas X itu, telah menutupi auratnya demi ketaatannya kepada Allah. Semua temannya kaget melihat penampilan barunya itu. Tidak terkecuali Sinta yang sebenarnya sudah lama mengetahui rencana Evi tersebut.
“Evi telah menepati janjinya. Kapan aku bisa melakukan hal yang sama?”, pikir Sinta.
@@@
Untuk menjadi seorang muslimah yang baik memang tidak mudah. Dibutuhkan keikhlasan yang tinggi dan pengorbanan yang besar. Salah satunya dengan mengenakan jilbab untuk menutup aurat demi ketaatan dan kecintaan kepada Allah serta untuk mendapatkan ridho dari-Nya.
Malam itu Sinta sulit sekali memejamkan matanya. Hatinha menghadapi dilemma dan ia mengalami kesulita untuk mengambil sebuah keputusan. Ia pun pergi mengambil air wudhu dan kemudian melaksanakan sholat malam. Ia begitu khusyuk dalam sholatnya. Air matanya mulai menetes dan membasahi wajahnya yang jelita itu. Dalam doanya pun air matanya tak berhenti mengalir. Tangisan itu bukanlah kesedihannya, melainkan tangis kebahagiaan yang melambangkan kecintaanya kepada Allah. Kini hatinya merasa mantap. Ia memutuskan untuk berjilbab. Ia yakin bahwa inilah jalan yang harus ditempuh olehnya.
Pada saat Sinta memantapkan hatinya untuk menutup auratnya sesuai dengan tuntunan Islam, ia merasa telah menggapai sebuah puncak. Ia berdiri di puncak itu dan berseru kencang “Saksikanlah bahwa aku akan menjadi seorang muslimah sejati, mulai hari ini, hingga ajal menjemputku”.
@@@